Kanvas Putih dan Bahasa Anak

Kanvas Putih dan Bahasa Anak

Oleh : Shilva Lioni

(Dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas)

Covesia.com - Apa yang muncul dibenak kita ketika mendengar kata “Kanvas Putih”? Apakah sebuah kertas kosong, kesucian, bersih, tanpa noda, atau sebuah kepolosan? Bagaimana jika kita mengaitkannya dengan konsep perkembangan bahasa pada anak?   

Banyak orang tua yang berkata bahwasanya anak akan pandai dengan sendirinya saat usia nya tiba, begitu juga dengan berbahasa. Lantas, apakah hal tersebut benar? Apakah sebuah bahasa yang kompleks yakni didominasi oleh berbagai memori dan pengalaman serta pemahaman dibaliknya dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa ada sesuatu yang disebut dengan “input”? 

Dalam studi ilmu bahasa yakni linguistik, kita mengenal bagaimana kehadiran input bahasa menjadi sangat bermakna dalam menunjang tumbuh kembang sebuah bahasa yakni pada anak. Istilah input merujuk pada suatu hal esensial yang dapat menstimulus pematangan sistem saraf dan mengaktivasi pematangan sistem saraf. Input sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak yakni pada pengembangan kosakata dan konsep dibaliknya. Seorang anak tidak akan tahu sebuah makna kata dan dapat menggunakannya jika kata tersebut tidak pernah didengarnya ataupun digunakan oleh orang sekitarnya sebelumnya. Ibarat sebuah lukisan, input merupakan setiap coretan sementara kanvas putih adalah memori si anak itu sendiri.

Lebih lanjut sebagai contoh bagaimana bisa seorang anak dapat mengetahui makna “sampah” ketika dia sendiri tidak pernah diperkenalkan dengan kata ini sebelumnya. Bagaimana bisa seorang anak menggunakan kata “sampah” ketika dia bahkan belum paham konsep dan mempunyai pengalaman terkait maupun dengan objek sampah itu sendiri? Hal inilah yang kemudian terjadi pada seorang anak yang tidak mampu menjawab pertanyaan tertentu dikarenakan orang tua anak yang bersangkutan tidak pernah memberikan pengalaman atau mengenalkan kata yang ditanyakan tersebut kepada sang anak. 

Sebuah pemahaman muncul dari sebuah pengalaman baik itu pengalaman fisik ataupun pengalaman pernah mendengar kata tersebut diucapkan sebelumnya. Sementara itu sebuah implementasi dan aplikasi lahir dari sebuah pemahaman. Begitu pula halnya dengan cara kerja sebuah bahasa. 

Sebuah kata dapat dipahami jika seseorang memiliki pengalaman atau memori terkait kata tersebut. Sementara itu, sebuah kata dapat diproduksi dan dipergunakan ketika seseorang memahaminya. Bertolak dari hal inilah, kita tentu dapat menyadari betapa pentingnya untuk dapat melibatkan serta memperkenalkan seorang anak pada hal baru apapun itu, baik itu nama-nama benda dan objeknya maupun hal abstrak sekalipun demi tumbuh kembang bahasanya. Sebagai orang tua kita seharusnya melibatkan anak dengan mengenalkannya pada aktivitas, konsep, makna, dan nama benda-benda disekitar terutama pada saat ketika si kecil belum genap menginjak usia tiga tahun karena pada dasarnya usia tiga tahun merupakan masa-masa emas dalam perkembangan otak anak sehingga memberikan banyak pengalaman dan input sangatlah krusial pada fase ini demi menunjang perkembangan bahasa pada anak. 

Sebuah studi menyebutkan bahwasanya otak manusia akan mengalami perubahan ketika seseorang belajar sesuatu atau menerima suatu rangsangan. Hal ini dilansir dalam NYTimes, Senin (23/5/2011) yang menyebutkan bahwasanya semakin sering seseorang mempelajari hal baru atau menerima rangsangan maka akan semakin ruwet atau banyak sinapsis terbentuk di otaknya yang menandakan adanya koneksi bagus antar sel saraf dalam otak. 

Anak pada dasarnya butuh pengalaman dan pemahaman untuk bisa berbicara dan berinteraksi. Pengalaman, pemahaman, dan pengetahuan mengajarkan anak untuk dapat berkomunikasi. Ketika seorang anak mampu menggunakan sebuah kata maka itu menunjukkan bahwasanya ia memiliki pemahamannya tentang suatu hal terkait kata tersebut. Oleh karenanya, penting bagi orang tua kemudian untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan pada si anak melalui berbagai pengalaman.

(*)

Baca Juga