Luka Lara Harijadi

Luka Lara Harijadi Dari kiri Harijadi, Ina, Budiardjo dan Sri Redjeki. Foto: Istimewa

Covesia.com - Engkau pernah terluka karena ditinggal orang yang kaucinta? Pada salah satu keping waktu, seniman Harijadi S. merasakan betul luka lara itu.

Bersama Siti Sri Redjeki, Harijadi menikah pada 11 Desember 1944 di Yogyakarta. Dia baru merintis menjadi seorang seniman. Tahun 1941 menjadi tonggak waktu ketika dia pertama kali melukis. Dia memutuskan hidup sebagai seniman. Cat tube didapatnya dari pelukis seniornya, Sudarso.

Harijadi-Sri Redjeki mengarungi masa-masa perkawinannya dalam kesederhanaan. Dua anak mereka lahir, Bambang Handerpati dan Niken Palupi. Hidup berumah tangga memang tidak selamanya mudah dan mulus. Memasuki tahun keempat, mahligai perkawinan mereka disebut oleh Harijadi sendiri "mulai benthét (retak)". Hari-hari hubungan mereka dilalui dengan kekurangharmonisan.

Hingga kemudian pada pertengahan Agustus-September 1948 bibit perpecahan keluarga itu mulai tumbuh untuk memecahkan bangunan rumah tangga mereka. Harijadi menulis bahwa waktu itu mereka kedatangan tamu laki-laki bernama Budiardjo.

Budiardjo adalah seorang perwira muda Angkatan Udara yang baru pulang dari tugas di Filipina. Dia anak seorang lurah di Wonorejo, Purworejo, yang juga masih terbilang sebagai sepupu istrinya.

Awalnya Budiardjo menyewa kamar di Hotel Merdeka (sebelah timur stasiun kereta api Tugu, Yogyakarta). Tapi karena penugasan di Yogyakarta cukup lama, maka dia ingin mencari rumah di Yogyakarta. Rupanya dia sudah mencoba mencari kontrakan rumah di Yogya, namun tak kunjung dapat. Lalu mintalah dia izin pada Harijadi untuk sementara tinggal di rumahnya.

Harijadi mengiyakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, dia masih kerabat istrinya dan mereka telah bergaul saat tumbuh bersama di masa kecil. Kedua, Budi sudah menjadi kawan. Kenal sudah cukup lama. Ketiga, dia hanya sementara di Yogya karena akan segera bertugas ke Bukittinggi, Sumatera Barat.

Tapi dugaan Harijadi meleset. Ada benih-benih cinta yang tumbuh begitu lekas pada hati istrinya, Sri Redjeki dan Budiardjo. Relasi yang "benthét" antara Harijadi-Redjeki akhirnya memuncak, dan pecahlah. Tanggal 8 November 1948 akhirnya mereka resmi bercerai.

Harijadi kemudian menikah untuk kedua kalinya 14 bulan kemudian, 1 Januari 1950, dengan janda beranak 1, bernama Sumilah Sastrodigdojo. Perempuan inilah yang banyak berpengaruh pada karier kesenimanan Harijadi. Kemampuannya dalam memanajemeni Harijadi dan Sanggar Selabinangun sangat memberi warna bagi dinamika karya dan hidup Harijadi. Sayang Sumilah meninggal dalam usia yang relatif masih muda, 54 tahun, pada 8 Juni 1970.

Setahun berikutnya, Harijadi menikahi seorang perempuan yang 22 tahun lebih muda, Siti Habibah, yang karib dipanggil sebagai Ina.

Bertahun-tahun kemudian pasangan Harijadi-Ina pernah bertemu dengan pasangan Budiardjo-Sri Redjeki. Budiardjo sendiri karier militer dan politiknya menanjak. Pangkat kemiliterannya hingga Laksda (Laksamana Muda), dan menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Pembangunan 1 di bawah kendali Presiden Soeharto.

Kisah di atas bisa ditemukan dalam buku "Andesit untuk Bangsa", tulisan Ireng Laras Sari. Rencananya buku "Andesit untuk Bangsa" akan diluncurkan dan didiskusikan pada Rabu, 20 November 2019, pukul 10.00-13.00 WIB, di Bentara Budaya, Jl. Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta.

Diskusi tersebut akan menghadirkan Prof.Dr. M. Agus Burhan, Rektor ISI Yogyakarta dan kurator seni rupa, Dr. Nasir Tamara, Board Yayasan Biennale Yogya, Ketum Perhimpunan Penulis SATUPENA, pengajar di Prodi Ketahanan Nasional di Fakultas Sekolah Pascasarjana UGM, dan Ireng Laras Sari, penulis, puteri Harijadi S.

Baca Juga