UU Minerba dan Kepentingan Elit

UU Minerba dan Kepentingan Elit Qotrun Nada (Dok. Pribadi)

Covesia.com - Skeptisme yang berlebihan telah merampas kekuatan negara untuk mendistribusikan sebagian dari keuntungan yang diterima kapitalis untuk program sosial dan pajak progresif. Kaum skeptis juga beranggapan bahwa pada era saat ini globalisasi ekonomi sudah tidak lagi mengacu pada globalisasi ekonomi dunia. 

Namun berbalik arah pada globalisasi ekonomi yang bersifat regionalisasi. Modal merupakan ciri utama ekonomi modern, namun banyak yang tidak paham asal usul dari modal.Modal pada akhirnya memegang peran penting dalam dunia perekonomian. Prinsipnya siapapun yang memupuk kekayaan dimasa lalu akan memetik kekayaan yang lebih besar dari mereka yang memulai dari bawah. 

Kemudian timbul pertanyaan perihal apa itu modal? Apa yang sebenarnya mengubaah kekayaan belaka menjadi aset yang meciptakan lebih banyak kekayaaan? Katharina Pistor dalam bukunya “The Code Of Capital :How The Law Creates Wealth And Inequality” menjelaskan bahwa modal dibuat oleh dua bahan dasar yaitu aset dan kode hukum. Dalam bukunya ini Katharina lebih fokus pada lembaga-lembaga kapitalisme, maknanya “kode” disini mengacu pada Undang-Undang properti, kontrak, perantara keuangan yang mampu mengubah aset menjadi modal, dengan demikian menghasilkan kekayaan pribadi dalam sistem kapitalistik.

Atribut Fundamental Modal

Menurut Katharina dalam proses “pengkodean hukum” dimana Undang-Undang dalam memberikan atribut krisis pada suatu aset untuk menciptakan kekayaan harus memiliki prioritas, daya tahan, konvertabilitas dan universalitas. Ketika suatu objek merupakan "kode dalam hukum" bahkan "sebidang tanah" dapat diubah menjadi aset berharga. Pengkodean hukum bukan tentang bagaimana aset dipilih untuk dikonversi menjadi modal melainkan melihat kemampuan untuk menciptakan kekayaan aset dan bagaimana hukum dapat memfasilitasi transformasi ini. 

Prioritas disini merujuk pada peringkat persaingan untuk klaim atas aset yang sama. Daya tahan (durabilitas) menurut Katharina adalah kode yang memungkinakan klaim prioritas untuk memperpanjang aset dari waktu ke waktu. Atribut yang ketiga adalah uiversalitas, yang menyoroti sifta modal dan hubungannya dengan kekuasaan negara. Dimana universalitas ini memfokuskan bahwa prioritas dan ketahanan akan diegakan terhadap orang lain. 

Singkatnya universalitas memperluas klaim di ruang angkasa dan diseluruh kehidupan masyarakat. Kemudian yang terakhir adalah konvertabilitas atau dapat dikonversikan menjadi nilai. Atribut ini memberikan eksplisit atau jaminan implisit untuk mengubah aset mereka menjadi uang negara ketika mereka tidak lagi dapat menemukan pengambil pribadi. 

Konversi ibarat menggadaikan hak untuk secara bebas mentransfer suatu aset. Di masa lalu, bahkan kewajiban hutang sederhana harus dilakukan oleh pihak asli dalam kontrak. Tetapi konvertabilitas menambah dimensi lain pada hak sederhana untuk mentransfer (atau menetapkan) kewajiban hukum: memberikan pemegang aset akses ke uang negara, satu-satunya aset yang dapat mempertahankan nilai nominalnya.

Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa gagasa Katharina ini mendukung pada kaum kapitalisme. “kode hukum” ada untuk melindungi hak dari kaum elit, hak properti misalnya. Empat Atribut hukum yang disematkan pada aset tentu menjadi keuntungan bagi kaum elit khususnya pengusaha yang memegang hak properti seperti HGU, HGB dan HM. 

Artibut prioritas dan durabilitas memberikan perlindungan terhadap hak-hak yang dimliki oleh pengusaha sebagai kreditur. Hak prioritas berkedukukan sebagai 'kartu AS' bagi kreditur ketika mereka mengalami pailit. Menurut Katharina hak properti memberikan hak kepada pemilik dan memungkinkannya untuk menghapus aset yang dimilikinya dari kumpulan aset yang dimiliki oleh debitur yang bangkrut, tidak peduli seberapa keras para kreditor lain mungkin memprotes. 

Hukum agunan bekerja dengan cara yang serupa. Pemegang hipotik, janji, atau kepentingan keamanan lainnya mungkin tidak memiliki hak penuh atas aset, tetapi ia memiliki hak yang lebih kuat daripada kreditur tanpa perlindungan seperti itu, yaitu, kreditur tanpa jaminan. "Karena itu kebangkrutan dapat disebut tes asam untuk hak hukum yang telah dibuat jauh sebelum kebangkrutan menjulang.

 UU Minerba Ditinjau dari Empat Atribut Hukum

Undang-Undang No 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara resmi disahkan pada tanggal 10 Juni 2020. Pengesahaan UU minerba ini banyak menuai polemik dari berbagai kalangan. Banyak yang berpendapat bahwa kehadiran UU ini hanya menguntungkan kaum elit semata dan menyudutkan rakyat kecil pemilik lahan. Jika ditinjua dari empat atribut hukum yang digagas oleh Katharina Pistor, kita dapat melihat bagaiaman “kode hukum” disematkan dalam kerangka kerja pemberlakuan UU minerba. Pengkodean tersebut akan kita bahas satu persatu sebagai berikut :

Pertama, atribut prioritas, dalam pasal 162 dan pasal 164. Dimana kedua pasal ini memberikan peluang kriminalisasi terhadap warga yang menolak untuk memberikan tananhnya kepada pengusaha, kemudian dalam pasal 164 dijelakan sanksi rincinya. Jelas pasal ini sangat memprioritaskan pengusaha tambang tanpa mempertimbangkan hak dari rakyat kecil yang dirampas.

Kedua, atribut durabilitas, dalam pasal 42 dan 42A. Jelas dalam pasal ini dituliskan bahwa ada perpanjangan waktu bagi pengusaha untuk mengeksploitasi kekayaan alam selama 8 tahun dan dapat diperpanjang satu tahun dalam setiap pengajuan perpanjangan.

Ketiga, atribut universalitas, dalam pasal 1 ayat 28A. Dalam pasal tersebut dinyatakan “Wilayah Hukum Pertambangan adalah seluruh rlrang darat, ruang laut, termasuk ruang dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah yakni kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan, dan landas kontinen”. Pasal ini jelas menganggu keseimbangan ruang hidup masyarakat dan makluk hidup lainnya. hanya untuk menguntungkan golongan elit tertentu, pemerintah secara gamblang mengancam kehidupan masyarakatnya.

Keempat, konvertabilitas, dengan dihapusnya pasal 165. Pasal ini menurut penulis sangat merugikan baik bagi rakyat maupun bagi negara. Karena dengan adanya pengapusan pasal 165 ini membuka celah korupsi dalam bidang minerba, karena ada beberapa ketentuan yang dihilangkan. Dimana ketentuan tersebut membuka akses bagi tikus-tikus politik untuk korupsi.

Selain beberapa polemik diatas, pengesahan UU minerba juga membuka peluang ketimpangan distribusi pendapatan di Indonesia. Menurut kementerian Keuangan perekonomian daerah-daerah yang berantung pada hasil pertambangan akan suram. 

Hal ini disebkan karena sudah banyak daerah yang memasuki pertumbuhan ekonomi negatif yang memerlukan tindakan darurat dari pemerintah daerah untuk melakukan tansisi. Namun realitanya dalam UU minerba terbaru kewenangan dalam masalah pertambangan dilimpahkan ke pemerintahan pusat. 

Dimana dalam UU minerba tahun 2009 kewenangan perizinan pertambangan dipegang oleh pemerintahan daerah. Namun dengan di hapuskannya pasal 7, pasal 8 dan pasal 37 maka pemerintah daerah harus lepas tangan dari urusan pertambangan. Lagi-lagi keputusan ini terkait dalam “kode hukum”-nya Katharina, atribut prioritas. 

Nampaknya dalam UU Minerba terbaru ini pemerintah hanya mempertimbangkan kedudukan kaum elit. Dalam beleid UU Minerba tahun 2020 pengelolaan tambang terpusat dan menyudutkan perekonomian daerah. Sementara hasil tambang daerah sudah draup habis oleh pengusaha, namun masyarakat daerah tidak dapat menikmati hasilnya, yang menyebabkan kemisikinan meluas pada daerah tersebut. Contohnya saja pada Provinsi Kalimantan dan Sulawesi yang diperkirakan menjadi provinsi yang paling dirugikan atas pemberlakukan UU baru. 

Bahkan dalam UU Minerba yang lama pun sudah banyak yang menyudutkan perekonomian rakyat kecil, dengan disahkan UU minerba baru malah memperparah penderitaan rakyat. Tidak hanya sektor perekonomian, namun sektor lingkungan pun ikut merasakan dampak UU Minerba terbaru ini. 

Eksploitasi hasil tambang berlebihan berpotensi lebih besar dilakukan oleh pengusaha-pengusaha yang rakus yang telah “dibentengi” oleh Undang-undang ini. Secara garis besar pemberlakuan Undang-Undang No.3 Tahun 2020 ini tidak hanya menuai polemik,tapi juga penderitaan tak berujung bagi rakyat kecil.

(Qotrun Nada, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Semarang)

Baca Juga